Renungan "BUKAN KEMAMPUAN TETAPI KETAATAN"

 RENUNGAN :


BUKAN KEMAMPUAN TETAPI KETAATAN

by : anonim

Ayat bacaan: Yesaya 6:8

===================

“Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!”


Tidak terasa sudah beberapa waktu saya mengirimkan renungan setiap hari, baik itu terkadang renungan yang ditulis oleh orang lain maupun saya sendiri. Semua berawal dari saran yang disampaikan kepada saya dari sesama pelayan Tuhan, mungkin Tuhan memakai dia untuk menyampaikannya kepada saya agar bisa membagi renungan setiap harinya. Saya sempat ragu, karena jujur saja, saya tidak tahu menulis renungan apalagi ini setiap hari. Pada saat itu apa yang saya pikirkan adalah batasan kemampuan saya, yang menulis satu renungan saja bisa berhari-hari. Maka saya pun berkata, "saya ini bisa apa?". Tapi saya berkata dalam hati dan doa, "bukan bisa atau tidak, tetapi mau atau tidak." Saya memilih untuk menerima tugas yang sangat berat ini, yang menurut saya seperti mission impossible. Dan tanpa sadar sampai saat ini sudah beberapa waktu berlalu, sampir setiap hari saya mengirimkan renungan (terkecuali hari minggu dan ketika saya sakit). Ada begitu banyak hal yang saya alami dalam menulis dan mengirimkan renungan setiap harinya. Keajaiban kuasa Tuhan, penyertaanNya, kebaikanNya, hal-hal yang tidak masuk logika manusia semua nyata saya saksikan sendiri. Dan sayapun tidak pernah tertarik untuk menulis siapa saya yang ada dibelakang renungan-renungan ini, karena saya menyadari betul saya cuma perantara saja yang tidak ada apa-apanya. Semua kredit mutlak merupakan hak Tuhan.


Keraguan, itu akan selalu hadir ketika kita dihadapkan kepada sebuah tugas, panggilan atau katakanlah tantangan. Logika kita akan segera mengukur batas kemampuan kita, dan di saat ukuran kita tidak sebanding dengan besarnya tanggung jawab yang dibebankan, maka 

keraguan pun segera muncul. Hal seperti itu pula yang dirasakan Musa ketika ia dipilih Tuhan untuk memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan untuk menuju tanah yang dijanjikan Tuhan. Musa langsung mengarahkan pandangan kepada keterbatasannya sebagai pribadi 

dan kelemahan yang dimilikinya. "Tetapi Musa berkata kepada Allah: "Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?" (Keluaran 3:11). Dan di pasal berikutnya kita bisa melihat bagaimana Musa memandang kecil 

dirinya sendiri. "Lalu kata Musa kepada TUHAN: "Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara, dahulupun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mupun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah." (4:10). Berat mulut dan berat lidah, _slow of speech and have a 

heavy and awkward tounge_ dalam bahasa Inggrisnya. Gagap? Entahlah. Tapi yang pasti Musa segera mengarah kepada kelemahannya dan lupa bahwa Tuhanlah sebenarnya yang menjadi aktor utamanya, bukan dia. Itulah yang kemudian diingatkan Tuhan. "Firman Allah kepada 

Musa: "AKU ADALAH AKU." Lagi firman-Nya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu." (3:14). Dalam versi bahasa Inggrisnya dikatakan "I AM WHO I AM and WHAT I AM, and I WILL BE WHAT I WILL BE." Tuhan secara jelas 

menyatakan bahwa siapa Tuhan itu jauh lebih penting daripada siapa Musa. "Akulah Aku", itu jauh lebih penting dari siapa aku. Tuhan tidak melihat kemampuan, kepandaian dan sebagainya dari diri kita, tetapi apa yang Dia minta adalah kemauan atau kesediaan kita. 

That's it. Selebihnya, Dialah yang akan melakukan semuanya lewat diri kita.


Sebuah jawaban kontras bisa kita dapati ketika Yesaya berada dalam situasi mirip dengan mendapat panggilan Tuhan. Berbeda dengan Musa, Yesaya langsung menyatakan kesiapannya tanpa memandang kemampuannya. "Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!" (Yesaya 6:8). Singkat dan tegas reaksinya. "Here am I, send me." Apakah Yesaya termasuk orang yang percaya diri berlebihan? Saya kira tidak. Saya yakin Yesaya pun tahu batas-batas kemampuannya sebagai manusia. Tetapi ia menyadari betul bahwa ia hanyalah seorang utusan, seorang hamba. Ia tidak perlu takut. Bukankah ia memiliki "Tuan" dengan kuasa yang tidak terbatas? Ini sebuah sikap yang seharusnya segera muncul dalam diri kita ketika Tuhan memberi sebuah tugas atau panggilan. Bukan segera melihat kekurangan atau keterbatasan kemampuan kita, tetapi segera mengarahkan pandangan kepada Sang Pemberi tugas. Bukan mengeluh, tetapi sudah sepantasnya kita bersyukur karena kita dipilih Tuhan untuk melakukan pekerjaan yang mulia. Bukan kemampuan kita yang penting, tetapi kemauan kita. Selebihnya biarkan Tuhan yang berkreasi diatas segalanya lewat diri kita.


Ada begitu banyak rahasia dibalik firman-firmanNya yang disingkapkan Roh Kudus selama saya aktif menulis/mengirimkan renungan. Semakin hari, saya melihat semakin banyak pula rahasia-rahasia yang disingkapkan Tuhan untuk saya bagikan, dan semakin terbuka pula mata saya akan kuasa tak terbatas dibalik firman Tuhan. Hari ini saya bersyukur karena saya menerima penugasan ini. Satu renungan artinya saya harus meluangkan waktu sekitar satu atau dua jam, tapi mengapa tidak? Saya melakukannya dengan penuh sukacita, dan masih tetap rindu untuk mendapatkan penyingkapan-penyingkapan lainnya dari hari ke hari. Saya senang dan bersyukur apabila selama ini saya bisa membagi berkat Tuhan kepada teman-teman dimanapun anda berada. Dengan kemampuan saya yang sangat terbatas, tetapi "Tuan" yang meminta saya sungguh tidak terbatas. Itulah yang terpenting untuk kita sadari. Adakah panggilan Tuhan kepada anda yang hingga hari ini masih anda tunda karena ragu? Jangan tunda lagi, terimalah segera dan beranilah berkata seperti Yesaya: "Ini aku, utuslah aku!"


Bukan kemampuan kita, tetapi kemauan kita, itulah yang diminta Tuhan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jadwal Sembahyang Hari Raya Tionghoa Tahun 2024